Sejak pendiriannya, Dexa Medica telah bertekad menjadi yang terbaik. Di tangan generasi kedua, impian ini agaknya bakal terwujud. Seberapa besar faktor Ferry mendorong Dexa dari good company menjadi great company.
Siapa pemain di industri farmasi yang paling mencengangkan saat ini? Dalam suatu percakapan informal, dan karenanya off-the record, seorang teman menjawab yakin, “Dexa Medica.” Alasannya: Dalam 4-5 tahun terakhir ini, Dexa tumbuh 30% lebih setiap tahun. “Tidak ada perusahaan sebesar itu yang tumbuh sepesat mereka,” ujar teman tadi sambil membetulkan kacamatanya.
Seorang teman lain yang duduk semeja dalam sebuah perhelatan Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi akhir Februari lalu mengamini pendapat teman yang satu itu. Jadi?
Sebaiknya kita percaya. Teman yang disebut pertama itu dijamin paham betul isi perut industri farmasi Indonesia. Maklum, pekerjaannya memang meneliti, memantau dan menganalisis penjualan para produsen obat di Tanah Air. Dan pekerjaan itu telah digelutinya lebih dari 20 tahun. Sementara itu, teman yang lainnya adalah Direktur Pemasaran perusahaan farmasi pesaing yang tentu saja mengamati secara cermat semua gerak langkah Dexa.
Kalau nama Dexa kurang bunyi di telinga awam dibanding, katakanlah, Bintang Toedjoe atau Konimex, itu karena mereka hanya memproduksi obat ethical. Dan jenis obat yang diberikan ke pasien melalui resep dokter tersebut tak boleh diiklankan di media massa umum. Dari segi penjualan, Konimex yang dengan Paramex dan Konidin namanya berkibar sampai ke desa-desa itu jauh di bawah – pada 2005 penjualan Konimex tak sampai separuh penjualan Dexa.
Masih belum yakin dengan kehebatan perusahaan berlogo segi tiga merah itu? Mungkin hasil penelitian sebuah perusahaan independen berikut ini bisa sedikit membantu.
Pada 2001, Dexa masih berada di peringkat ke-7 dari segi penjualan – di bawah Bintang “Extra Joss” Toedjoe dan Tempo “Hemaviton” Scan Pacific. Memasuki 2004, dilontarkan pertumbuhan yang mencapai 40,6%, di tengah pertumbuhan industri nasional yang hanya 19,6%, mereka melesat bak meteor menjadi satu dari hanya tiga perusahaan farmasi yang penjualannya menembus angka Rp 1 triliun. Artinya, dari 200-an perusahaan yang ada di Indonesia, Dexa hanya kalah dari Sanbe dan Kalbe Farma yang sejak 2001 memang telah berkibar di puncak. Bahkan, untuk pasar ethical, hanya Sanbe, yang konon menguasai jaringan 40.000-an dokter, yang penjualannya lebih tinggi dari Dexa.
Kalau ditarik sampai 1993, prestasi Dexa lebih luar biasa lagi. Waktu itu, walau telah sekitar 18 tahun merambah Jawa (bahkan, kabarnya, telah masuk ke pasar ASEAN), si Segi Tiga Merah yang masih identik dengan perusahaan daerah ini hanya menduduki posisi ke-30 dari 180-an perusahaan farmasi yang ada. Pendek kata, pada tahun-tahun awal 1990-an itu tak mudah bagi untuk merebut kepercayaan para dokter, terutama kalangan spesialis papan atas yang merupakan key opinion leder.
“Siapa yang mau lirik,” ujar Ferry A. Soetikno, Direktur Pengelola Dexa, mengenang. Sering ikut turun ke lapangan, dia ingat betul, waktu itu, ketika tahu Dexa berasal dari Palembang, para dokter banyak yang mencibir walau dibungkus canda. “Mereka pikir kami mau nawarin empek-empek.”
Bagi Dexa, 1993 punya arti tersendiri. Pada pertengahan tahun itu, sejarah bisnis mereka memasuki babak baru. Ferry yang sejak meraih gelar insinyur teknik kimia dari Institut Teknologi Bandung pada 1984 menimba ilmu di Amerika Serikat mulai bergabung. Dengan masuknya Ferry, perahu bisnis Dexa mendapat nakhoda yang piawai membaca arah dan menunggangi pasang naik tren perkembangan industri farmasi, jauh sebelum para pesaing menyadarinya.
Berpengalaman selama 6 tahun di KC Pharmaceutical Inc., Pomona, Kalifornia, sebelum memutuskan pulang kampung Ferry yang pada tahun pertamanya dipercaya sebagai Manajer Pengembangan Bisnis agaknya tak memerlukan waktu lama untuk mempelajari peta besar pengembangan Dexa yang memang telah dia kenal sejak masih kecil. Buktinya, begitu diangkat jadi Direktur Pemasaran pada 1994, dia telah siap dengan berbagai gebrakan.
Di bawah kendali Ferry, jaringan pemasaran Dexa langsung dibawa menembus pasar mancanegara. Kantor perwakilan didirikan di beberapa negara ASEAN. Pada 1995, juga atas arahannya, dilakukan reposisi terhadap PT Anugrah Argon Medica (AAM) yang waktu itu praktis hanyalah agen tunggal produk Dexa yang merupakan perusahaan induknya.
“Kalau sebelumnya kami bertindak lebih seperti trader – berupaya menjual produk Dexa sebanyak-banyaknya ke subdistributor dan memenangi tender – pada 1995 kami mulai mengubah orientasi menjadi perusahaan distribusi,” ujar Erwin Tenggono. Konsekuensinya, masih menurut Direktur Pengelola AAM ini, kami harus mengubah paradigma dari results ke proses karena yang ditawarkan betul-betul jasa. Parameter yang harus dipertimbangkan pun berbeda, bukan lagi sales melainkan order filling rate.
Perubahan paradigma seperti itu jelas bukan hal yang gampang. Sebab, perubahan besar tersebut memerlukan infrastruktur yang berbeda dan, karenanya, operator lapangan dan back-end office yang memiliki kompetensi ataupun mentalitas berbeda pula. Toh, insan Grup Dexa berhasil melakukannya.
Berpegang pada visi bahwa prinsipal menginginkan coverage yang luas dan ketersediaan produk yang baik, AAM mengembangkan sistem teknologi informasi (TI) canggih yang diperlukan. Yang menarik, ketika sistem Oracle 11i yang digunakan AAM tak berjalan seperti yang diharapkan, menurut orang-orang di lingkungan industri farmasi, Ferry tak segan mendatangi kantor pusat perusahaan peranti lunak kedua terbesar dunia itu di Kalifornia.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepadanya dalam wawancara khusus dengan SWA di ruang rapat Dexa yang sejuk di Graha Elnusa Lantai 5, Ferry tersenyum kecil. “Ya, tapi jangan percaya rumor. Saya nggak ketemu Larry Ellison langsung – cuma pejabat dua atau tiga tingkat di bawahnya,” ujar kelahiran Palembang, 22 Juni 1961, itu merendah.
Boleh jadi, bagi Ellison, Dexa bukanlah pelanggan kakap sehingga bos tertinggi dan pemilik Oracle itu tak memerlukan diri menemui Ferry. Kendati demikian, apa yang dilakukan Ferry sebagai komandan perusahaan setidaknya menunjukkan bahwa, tak seperti kebanyakan perusahaan di Tanah Air, Dexa tak hanya melakukan investasi di bidang TI untuk sekadar gengsi-gengsian. Dexa ingin investasi yang ditanam betul-betul memberikan hasil maskimal.
“Dalam memberikan pelatihan saja, kami tidak asal kirim,” ujar Ferry. Dalam hal pengembangan sumber daya manusia (SDM) ini, menurutnya, Dexa betul-betul mempertimbangkan apakah sebuah pelatihan diperlukan untuk seorang karyawan, katakanlah si A – apakah hasilnya akan berguna untuk pekerjaannya sekarang dan/atau pada posisinya mendatang di Dexa. “Kalau nggak, ngapain kami kirim dia?”
Kebijakan Dexa yang sangat selektif itu, patut dicatat, bukan karena mereka pelit. Dalam hal pengembangan SDM, mereka bahkan tak segan membangun Departemen Pelatihan untuk membentuk barisan medical representative (medrep) yang kuat – suatu hal yang tak banyak dilakukan perusahaan farmasi lain sehingga memunculkan bisnis pelatihan medrep di berbagai kota. Dari sini saja telah bisa dilihat bahwa untuk hal yang menentukan daya saing perusahaan, Dexa mau melakukan investasi besar. Mereka sadar betul, barisan medrep yang kuat merupakan senjata ampuh untuk memenangi persaingan, terutama di pasar obat ethical yang mereka geluti. Dari sisi biaya, adanya Departemen Pelatihan bisa memberikan penghematan dengan semakin panjangnya barisan medrep Dexa.
Didirikan pada 1995, Departemen Pelatihan Dexa dilengkapi tenaga pengajar yang kompeten: para dokter dan apoteker dari dalam maupun luar negeri. Pelatihan diberikan secara ketat dan bergilir, beberapa tenaga pemasaran dan penjualan bahkan dikirim untuk pelatihan di luar negeri. “Maklum saja, kalau kalah dibanding dokter dan cuma bisa kasih info yang itu-itu saja, mereka tentu tidak akan ditanggapi,” Ferry menjelaskan. Dengan memberikan bekal informasi terkini, sesuai dengan kebutuhan pasar dari waktu ke waktu, dapat diharapkan tim pemasaran Dexa tak harus melakukan pendekatan ke dokter melalui praktik-praktik kotor.
Pendekatan pemasaran yang rasional-ilmiah ini, didukung produk bermutu tinggi dengan diferensiasi yang jelas plus distribusi yang mumpuni, membuat nama Dexa cepat berkibar di antara para dokter, termasuk kalangan spesialis top yang jadi panutan komunitasnya alias key-opinion leader di antara para dokter.
“Sudah menjadi strategi kami untuk masuk ke jajaran inner circle,” ujar Ferry yang mengistilahkan para dokter yang menajdi key-opinion leader sebagai inner circle atau ring-1.
Sebagai perusahaan yang memulai dari bawah, upaya Dexa ini tentu saja bukan hal gampang, yang bisa dilakukan dalam semalam. Bahkan, upaya tersebut juga kelewat besar kalau baru dimulai pada 1993, di bawah Ferry. Kenyataannya, sebelum Ferry masuk, Dexa sudah terbilang perusahaan bagus atau, setidaknya, perusahaan yang bercita-cita tinggi – nama Dexa berasal dari pelesetan kata “deca”, istilah bahasa Latin untuk “sepuluh” yang berarti juga “nilai sempurna.”
Dengan mengacu pada nilai sempurna “sepuluh” ini, Ferry menerangkan filosofi di balik nama Dexa, “We strive to be the best in many ways.”
Didirikan Rudy Soetikno pada 1969 di Palembang, Dexa mengemban misi idealis. Waktu itu, sebagai anggota TNI AD, Rudy yang kelahiran Magelang ditugaskan di sana. Dia prihatin bahwa di kota yang notabene adalah ibu kota provinsi, obat-obatan ternyata langka. Sarana transportasi yang minim membuat masyarakat, bahkan prajurit, lebih sulit lagi memperoleh obat-obatan yang memadai. Padahal, sudah 24 tahun Indonesia merdeka dan negara sedang menggelora dalam aksi Trikora dan Dwikora yang pasti membutuhkan prajurit dan pemuda-pemudi yang sehat.
Sebagai pharmacist – Rudy adalah lulusan Jurusan Farmasi ITB – ia tergerak untuk menyediakan obat murah tetapi bermutu tinggi. Cikal bakal Dexa adalah perusahaan farmasi kecil yang didirikannya buat memenuhi kebutuhan obat kalangan militer, terutama TNI AD tempat dia bergabung. Atau, kalaupun dilepas ke pasar, lingkupnya pada tahun-tahun awal itu paling hanya Sumatera Selatan. Baru pada awal 1970-an mulai terpikir menyalurkan produksi Dexa ke masyarakat yang lebih luas di Sum- Sel.
Lalu, ketika pabrik pertama Dexa mulai beroperasi penuh pada 1972, disadari bahwa kebutuhan obat-obatan untuk seluruh Sumatera juga belum terpenuhi dengan baik. Demikian pula, kawasan lain di Nusantara yang sangat luas belum terjangkau betul oleh industri farmasi. Maklum, pabrik farmasi terkonsentrasi di Jawa. Itu pun belum bisa memenuhi kebutuhan pulau yang penduduknya terpadat tersebut. Dengan kata lain, Rudy menyadari bahwa peluang bisnis di industri farmasi sangat luas. (Sebagai gambaran, saat ini saja konsumsi obat per kapita kita masih jauh lebih rendah dibanding Malaysia, apalagi Singapura.)
Maka, agar dapat berkonsentrasi penuh menangkap peluang bisnis yang luar biasa besar, pada 1975 Rudy mengajukan pensiun dini dari dinas ketentaraan. Tahun itu pula Dexa mulai mengembangkan sayap pemasarannya ke seluruh Indonesia – melalui Jawa. Dengan infrastruktur industri farmasi yang masih terbatas, pada tahun 1970-an itu Dexa sebagai perusahaan tunggal masih menangani segalanya, dari manufakturing sampai pemasaran dan distribusi. Baru, ketika pada 1980 pemerintah meluncurkan beleid yang mengharuskan produk farmasi didistribusikan oleh perusahaan yang berbeda, mereka mendirikan anak perusahaan untuk menangani distribusi, AAM itu tadi.
Hanya merupakan spin-off dari bagian distribusi Dexa, pada awal berdirinya, 1981, AAM tak lebih dari kepanjangan tangan perusahaan induk. Tugas AAM hanyalah menyodorkan sebanyak mungkin produk induknya ke sebanyak mungkin subdistributor, bahkan setelah kantor pusat pemasaran Dexa dipindahkan ke Jakarta pada 1984. Namun, Dexa beruntung, pada tahun 1980-an perusahaan distribusi khusus farmasi, termasuk anak perusahaan farmasi seperti AAM, yang mampu melakukan coverage nasional masih langka, kalau tak bisa dikatakan belum ada.
Tak mengherankan, dengan AAM yang hanya berorientasi penjualan, Dexa bisa mendorong dirinya untuk pelan-tapi-pasti melambung ke jajaran 30 besar atau 20 besar perusahaan farmasi nasional pada awal 1990-an. Not bad at all untuk perusahaan pinggiran yang tadinya cuma “kontraktor” obat-obatan untuk tentara. Bahkan, melihat upayanya yang gigih dan terarah, Dexa sudah terbilang a good company alias perusahaan yang bagus.
Sebab, walau nilainya masih jauh dari deca seperti yang dicita-citakan Rudy, di dalam diri Dexa telah tertanam dorongan untuk maju. Selain itu, didirikan oleh “orang berseragam”, tertanam pula dalam gen Dexa semacam dorongan untuk turut serta menyukseskan program pemerintah. Kenyataan bahwa presiden waktu itu berasal dari kalangan militer (dan TNI AD pula) mungkin ikut menyentuh “tombol” kepatuhan tersebut.
“We want to be a good citizen,” kata Ferry terkait dengan idealisme ayahnya, Rudy, sebagai mantan tentara. Itu sebabnya, setiap program pemerintah selalu menjadi perhatian Dexa. Pendirian AAM pada 1981 hanyalah satu contoh kecil. Contoh lain adalah ketika pemerintah mewajibkan perusahaan farmasi di Indonesia memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pada 1990, Dexa menjadi salah satu dari hanya 5 perusahaan farmasi nasional yang pertama menerima sertifikat CPOB untuk seluruh proses produksi, bersama perusahaan farmasi pemerintah atau terkait dengan BUMN seperti Phapros.
Ketika Ferry masuk ke Dexa, tradisi mendukung program pemerintah yang telah tertanam dalam tetap terjaga. Apalagi, walau pelan-tapi-pasti duduk di belakang layar, Rudy tak melepaskan jabatan sebagai Presdir. Sang pendiri masih jadi bos tertinggi Dexa.
Masuknya Dexa ke pasar internasional pada 1993 dengan ekspor perdana ke Myanmar, misalnya, tak lepas dari niat menyambut seruan pemerintah kepada kalangan swasta untuk menggalakkan ekspor nonmigas. Dexa juga termasuk perusahaan swasta pertama yang ikut memproduksi obat generik berlogo (OGB) ketika pada awal 1990-an pemerintah mengundang kalangan industri farmasi non-BUMN yang telah mengantongi CPOB untuk berperan serta menyukseskan program obat murah dan berkualitas untuk rakyat. Dexa bahkan masuk ke Askes ketika kebanyakan produsen swasta besar menghindarinya.
Memasuki 2000, ketika pemerintah mencanangkan program pengembangan obat dari tanaman asli Indonesia, Dexa menyambutnya dengan peluncuran Stimuno. Obat bahan alam berisi ekstrak daun meniran yang telah lulus uji klinis sebagai penguat imunitas tubuh ini diakui Ferry sebagai fitofarmaka pertama buatan pabrik farmasi swasta Indonesia. Sebelum Stimuno memang telah ada empat fitofarmaka – Tensigard dan X-gra (Phapros), Fitoria (Kimia Farma), serta Rheumaneer (Nyonya Meneer) – tetapi itu buatan pabrik farmasi BUMN atau yang terkait dengan BUMN dan pabrik jamu.
Dexa yang penurut itu lantas jadi semacam quasi-BUMN yang tak efisien?
Ternyata tidak. Dan justru di sinilah letak kehebatan mereka: Dexa justru mampu memanfaatkan aturan main yang pada dasarnya bagus itu untuk kemaslahatan bisnis mereka. Di era ketika pemerintah masih merupakan faktor dominan dalam perekonomian nasional, kebijakan pemerintah mendorong tren tertentu di berbagai industri. Muasal kehebatan Dexa adalah dari kepiawaian mereka menunggangi pasang naik tren yang terbentuk.
Di bawah kendali Ferry yang mengecap pendidikan di negara maju, kemampuan Dexa menunggangi pasang naik tren di industri farmasi lebih mumpuni lagi. Latar belakang pendidikan Ferry di bidang teknik kimia – dia meraih gelar master teknik kimia dari Universitas Washington – memberikan nilai lebih: memungkinkan dia sebagai nakhoda Dexa melihat peta produksi perusahaannya dengan lebih luas. Ditambah bekal ilmunya sebagai seorang MBA dari Universitas Pittsburgh dan pengalaman kerjanya di perusahaan farmasi AS (KC Pharmaceutical), jadilah dia pemimpin dengan paradigma global, seperti yang dimiliki nakhoda perusahaan multinasional.
Peran Rudy sang pendiri tentu saja tak kecil dalam membentuk visionary leadership dalam diri seorang Ferry. Sebagai seorang ayah, seperti diakui Ferry, Rudy tak memaksa anak-anaknya mengikuti jejaknya. Akan tetapi, bisa dipastikan, di tengah segala kesibukannya sang ayah menyempatkan waktu memperkenalkan bisnis keluarga, atau setidaknya apa yang dia lakukan dan profesinya, kepada ketiga anaknya. Jalur pendidikan yang mereka ambil, yang semuanya dekat dengan industri farmasi, merupakan salah satu indikator.
Adik perempuan Ferry, Grace Soetikno, belajar farmasi – sampai meraih gelar doktor, D.Pharm., di bidang farmasi klinik setelah menyelesaikan program undergraduate di bidang matematika di Universitas Washington, Seattle. Sementara itu, adik lelaki Ferry yang tak disebutkan namanya, menjadi dokter dan memilih tinggal di AS. Sekarang Grace dipercaya menjadi Direktur Purchasing Grup Dexa.
Karena itu, tutur Ferry sambil menerawang, “Ayah senang sekali ketika saya (dan Grace) memutuskan bergabung dengan Dexa.”
Waktu itu, walau dibebaskan penuh memilih jalan hidupnya, Ferry merasa terpanggil membantu mengembangkan usaha yang telah dirintis orang tua. Si sulung ini merasa, itulah tanda bakti kepada orang tua yang telah bersusah payah mendidiknya. “Bagaimanapun, saya dibesarkan dan disekolahkan hingga bisa seperti ini adalah karena jerih payah orang tua membesarkan perusahaan,” katanya.
Di sini, seperti yang sudah-sudah, kembali Rudy menunjukkan perannya sebagai pembimbing yang baik bagi sang Putra Mahkota. Walau sangat senang, sang ayah tak serta merta menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Ferry yang sebenarnya telah cukup berpengalaman itu. Soetikno Senior tetap memegang teguh prinsip “buat apa dikelola anak sendiri kalau tidak benar dan dilakukan seenaknya.”
Di sisi Ferry sendiri, dia juga ingin membuktikan bahwa dirinya mampu mengelola perusahaan dengan benar di mata pegawai lama yang seusia ayahnya. Dia sadar, sebagai anak pemilik, dirinya jadi sorotan, terutama dalam caranya memimpin.
Pada tahap awal, seperti yang telah diceritakan di depan, Ferry didudukkan sebagai Manajer Pengembangan Bisnis dan masih didampingi orang-orang kepercayaan Rudy yang telah bekerja di Dexa semenjak perusahaan berdiri. Dengan tanggung jawab melihat dan menganalisis potensi pengembangan perusahaan, portofolio produk, coverage distribusi, situasi dan posisi pasar produk Dexa, dan sebangsanya, Ferry berada di tempat yang memungkinkannya melihat perusahaan dalam peta besar industri farmasi untuk menemukan jalan ke masa depan. “Saat itu, saya menjelaskan visi dan misi Dexa, menunjukkan hasil analisis tentang peluang pasar dan pengembangan produk,” tuturnya.
Dinilai telah memiliki pandangan yang jelas tentang mau dibawa ke mana Dexa nantinya, pada 1994 Ferry ditempatkan sebagai panglima lapangan. Dalam posisi sebagai Direktur Pemasaran, dia bertanggung jawab atas pemasaran seluruh produk Dexa. Bekerja sama secara erat dengan tim pemasaran, distribusi dan penjualan, bahkan tak segan terjun langsung ke lapangan, dia jadi tahu betul masalah riil yang dihadapi orang-orang di garda depan perusahaan, seperti para medrep yang harus meyakinkan dokter untuk menulis produk Dexa di resep mereka.
Dengan pengetahuan lapangan dari tangan pertama ini, Ferry sadar Dexa memerlukan barisan medrep yang andal. Barisan medrep Dexa harus agresif dan proaktif, tetapi tak hanya mengandalkan kalkulator (penghitung bonus atas penulisan resep), tetapi harus mampu memberikan info (ilmiah) terkini tentang produk Dexa kepada pelanggan terdekat yang sangat terdidik: para dokter. Kesadaran Ferry memberikan competitive advantage kepada barisan medrep-nya inilah yang membuat Dexa mendirikan Departemen Pelatihan pada 1995.
Di sisi produk, Ferry juga mempertajam strategi. Salah satunya, Dexa berupaya jadi yang pertama meluncurkan sebuah produk ke pasar. Strategi menghindari kerumunan ini membuat Dexa dapat memberikan diferensiasi bahkan ketika mereka masih mengandalkan obat-obat off-patent, baik dalam bentuk produk OGB maupun produk me-too yang diberi merek (obat nama dagang, OND). Diferensiasi, kita tahu, mempermudah pemasaran. Salah satu bukti keampuhan strategi ini adalah sukses mereka mendominasi pasar Sefalosporin dan Simfastatin.
Dalam hal pemasaran, strategi yang diayun Dexa juga sangat orisinal. Tanpa menyembunyikan rasa kagumnya, seorang Manajer Pengembangan Bisnis sebuah perusahaan pesaing bercerita. Untuk memperkenalkan obat baru ke masyarakat, Dexa tak segan memasukkan OND – dengan harga bersaing tentunya – dalam tender OGB. Setelah 2-3 tahun, baru OND tadi diganti dengan OGB-nya. Tak lagi menjadi “obat tender”, harga ONB itu pelan-pelan dinaikkan.
Strategi orisinal ini brilian, karena Dexa dapat melakukan “promosi murah” ke masyarakat pengguna untuk produk ethical yang hanya dapat dipromosikan ke kalangan profesional. Dikatakan promosi murah karena biaya produksi OND boleh dibilang sama dengan OGB-nya. (Maklum, penggantian bahan aktif untuk OGB dengan yang lebih murah, misalnya buatan Cina, menuntut modifikasi proses produksi yang memerlukan setidaknya biaya pengembangan sehingga belum tentu lebih murah dan, karenanya, belum tentu dilakukan).
Setelah diganti dengan OGB-nya, sebagian dokter bisa diharapkan tetap meresepkan OND tersebut karena trust mereka telah terbangun (atau, sekadar telah jadi kebiasaan). Masyarakat yang semakin getol melakukan swamedikasi, baik karena lebih melek informasi maupun terdesak oleh keadaan ekonomi, juga bisa diharapkan jadi repeat buyers.
Di masa depan, dengan semakin kritisnya konsumen dan kian efektifnya pengawasan (lembaga swadaya) masyarakat terhadap cara-cara pemasaran obat yang kotor atau yang aroma fulusnya kelewat pekat, pendekatan rasional-ilmiah yang dilakukan Dexa tentu akan memberikan competitive advantage lebih besar. Sekarang saja, strategi yang profesional itu terbukti telah membawa Dexa dari pemain pinggiran ke, sekali lagi mengambil istilah Ferry, inner circle atau ring-1.
Lompatan besar lain yang diayun Ferry pada 1995 adalah, itu tadi, reposisi AAM menjadi perusahaan distribusi yang sebenarnya. Untuk mewujudkan visi besar yang satu ini, pembenahan sistem TI baru merupakan bagian yang mudah dari upaya yang melibatkan perubahan paradigma itu. Bagian yang sulit adalah mempersiapkan SDM dengan paradigma baru tersebut dan, yang tersulit, menaruh seorang komandan yang mampu mengawal paradigma yang harus diterapkan tadi dan mengarahkan ke paradigma baru manakala ada keharusan melakukan reposisi lagi.
Dalam hal yang satu ini, Ferry membuktikan kejeliannya dalam menilai dan memilih orang kepercayaan. Waktu itu, pra-1998, Dexa yang belum mengenal balanced-score card hanya mengandalkan performance appraisal untuk menilai kinerja dan potensi SDM-nya. Toh, Ferry mampu menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat di AAM yang sedang mengalami transisi besar: Erwin Tenggono.
Telah bergabung ketika Dexa masih berkantor di Palembang, Erwin selama belasan tahun berkutat di bagian akunting. Latar belakangnya pun akuntansi. “Dulu, karena dari keluarga sederhana, saya tanya profesi apa yang paling gampang kumpulkan uang,” tutur Erwin lugu dengan logat Palembang yang cukup kental. “Saya dianjurkan belajar akunting.”
Latar belakang ekonomi keluarga yang sederhana itu agaknya membuat Erwin terus mencari tantangan baru walau sebagai akuntan hidupnya sudah mulai mapan. Maka, ketika ada peluang di bidang pemasaran, dia tak ragu menubruknya. “Akuntan itu mencatat sejarah. Bergerak di front line, orang marketing membuat sejarah,” dia memberi alasan tentang lompatan besarnya ke bidang yang dalam beberapa hal paradoksal.
Dan benar saja. Walau waktu pertama bikin laporan dinilai isinya “kelewat akunting” – terlalu banyak memasukkan kritik dan tidak optimistis – pada akhirnya Erwin membuat sejarah. Dia berperan besar membawa AAM menjadi agen dengan keberhasilannya menarik pelanggan pertama. Hebatnya lagi, pelanggan pertama yang memercayakan distribusinya pada AAM itu bukanlah perusahaan kacangan, melainkan multinasional ternama: Pfizer.
Kepercayaan yang diberikan perusahaan multinasional ini mempermudah AAM menarik perusahaan farmasi lain sebagai prinsipal. Namun, kenyamanan yang mulai dinikmati itu tak berlangsung lama. Pada 1998, setelah kerusuhan besar Mei yang berdarah dan meludeskan banyak aset itu, rumah sakit dan apotek mengubah secara drastis pola pemesanan obat. Khawatir akan rugi besar kalau huru-hara terulang, mereka lebih suka pesan sedikit tetapi frekuensinya sering.
Maka, paradigma pun harus sedikit digeser. Supply chain harus lebih diperkuat, delivery dipergesit. Di Jakarta yang macet, AAM mengatasinya dengan membangun armada sepeda motor yang siap melakukan delivery kilat sampai ke pelosok-pelosok kota.
Respons proaktif yang dilakukan Grup Dexa membuat AAM yang mumpuni membuka banyak peluang bisnis baru. AAM jadi dipercaya produsen obat life-saving yang permintaan delivery-nya bisa kapan saja, termasuk di tengah malam buta. Maklum, kebutuhan pasien terhadap produk semacam human albumin dan berbagai immunoglobulin, sulit diramalkan. Serangan tetanus yang membutuhkan immunoglobulin khusus untuk penyelamatannya, misalnya, tak mengenal jam. Demikian pula operasi darurat yang memerlukan human albumin dan produk darah lainnya.
Orang yang sehari-hari mengemudikan AAM menunggangi pasang naik tren yang bisa membahayakan ini? Ya, itu tadi, Erwin yang lalu dipercaya menjadi Direktur Pengelola AAM. Ferry yang sekarang di belakang layar sebagai Presdir AAM menyebut Erwin sebagai contoh sukses melakukan pembinaan dengan mencari talenta terbaik dari dalam.
Sejak mengadopsi competency-based organization, Dexa memperhatikan tiga faktor dalam memilih orang-orang untuk mengisi posisi kunci: skill, knowledge dan behavior (atau attitude). Di antara ketiga unsur itu, faktor behavior mendapat tekanan lebih. Buat mereka, keterampilan dan pengetahuan – kompetensi – dapat dipoles, tetapi perilaku yang suka melanggar etika dan norma perusahaan serta profesi sudah kartu mati karena sulit diperbaiki.
Saat ini, dengan 15 prinsipal, AAM telah berkibar menjadi distributor produk farmasi terbesar di Indonesia. Dan yang lebih hebat lagi, lebih dari 50% revenue AAM berasal berasal dari prinsipal eksternal. Dengan kata lain, Dexa telah berhasil mengubah AAM dari cost center atau, setidaknya, perusahaan yang hanya mengandalkan captive market, menjadi profit center yang sebenarnya – suatu hal yang bahkan belum kelewat sukses dilakukan pesaingnya yang lebih besar, Sanbe (dengan Bina San Prima-nya) dan Kalbe (dengan Enseval-nya).
Di antara para prinsipal AAM yang mereka disebut sebagai mitra strategis itu, terdapat nama-nama besar dunia seperti Aventis, GlaxoSmithKlein (GSK) dan Novo Nordisk. Patut dicatat, Novo Nordisk adalah produsen insulin terbesar di dunia. “Kami telah jadi partner of choice untuk aliansi strategis,” ujar Ferry bangga. Jika ada perusahaan asing datang ke Indonesia mencari mitra, Dexa senantiasa diperhitungkan.
Ferry memang punya alasan tersendiri menyebut para prinsipal itu sebagai mitra strategis, bukan sekadar mitra bisnis. Dan, alasan “supaya terdengar keren” tak termasuk salah satunya. Sebab, di bawah kendali pemimpin visioner ini, prinsip aliansi betul-betul dijalankan. Hubungan bisnis diperluas sampai masuk ke bidang pemasaran, bahkan produksi serta riset & pengembangan (R&D) – tak sebatas distribusi.
“Dulu orang bilang, “Ngapain kerja sama dengan orang. Kita harus buka baju, ngeliatin isi perut, mendingan sendiri, biar kecil tapi aku adalah raja,” tutur Ferry. Paradigma ini, menurutnya, sampai sekarang bahkan masih kental di kebanyakan perusahaan lokal. Akan tetapi, di Dexa, pendobrakan paradigma lama yang mengibarkan mereka jadi partner of choice itu justru jadi kebanggaan.
Bagaimana tidak, Dexa menjadi perusahaan lokal pertama – bahkan, sampai saat ini, satu-satunya – yang dipercaya membuat dan memasarkan dengan nama dagang sendiri produk perusahaan farmasi multinasional. Memang Tensivask buatan Dexa belum sebesar Norvask, produk orisinal Pfizer yang, meraup penjualan Rp 102,32 miliar, pada 2004 merebut peringkat ke-15 dalam jajaran obat terlaris di Indonesia. Namun, dengan penjualan Rp 80,11 miliar, Tensivask telah merebut posisi terhormat: peringkat ke-15.
Lebih hebat lagi, Dexa adalah perusahaan lokal pertama – juga satu-satunya – yang mampu melisensikan produknya ke perusahaan farmasi multinasional. Melalui R&D, Dexa berhasil mengembangkan teknologi baru, NDDS (New Drup Delivery System), yang kemudian dicangkokkan ke Rhinos sehingga obat rhinitis allergica ini hanya perlu diberikan setiap pagi dan malam hari untuk menghentikan bersin-bersin dan hidung meler karena alergi.
“Teknologi NDDS ini kami lisensikan ke GSK Indonesia,” ujar Ferry bangga. Hadirnya Glanos di bawah label Glaxo, dikatakannya, tidak hanya mendatangkan revenue berupa fee, tetapi juga membantu pengembangan kue pasar produk bernilai tambah tinggi tersebut.
Lebih dari itu, Ferry juga memanfaatkan Rhinos untuk mengibarkan nama Dexa di mancanegara. Dia memberi ilustrasi, “Misalnya, kita datang ke Kamboja bawa amoxicillin, padahal di sana sudah ada 40 merek. Buat apa?” Ceritanya tentu akan lain kalau Dexa mengusung Rhinos. Hanya ada satu merek Rhinos di dunia, dan teknologinya pun beda. Maka, produk tadi bisa bersaing, mendapat harga bagus, bisa menutup ongkos, bahkan bisa cepat menembus dokter hingga key-opinion leader. Untuk sampai ke ring-1 ini, masih menurut Ferry, dulu di Indonesia Dexa perlu waktu 4-5 tahun, di Kamboja hanya dua bulan. Ada lompatan besar, di sini.
R&D bersama aliansi strategis, terutama dengan merebut dan memberikan lisensi, merupakan upaya Dexa keluar dari jebakan produk me-too yang selain bernilai tambah lebih rendah juga sulit dipertahankan selamanya. Sejak 1996, jauh sebelum UU Hak Paten disahkan pada 2000, Dexa telah mengantisipasi masalah yang terkait dengan hak milik intelektual ini dengan mengupayakan produk orisinal.
Dalam hal aliansi strategis, Dexa memperoleh keuntungan yang lebih dari sekadar peningkatan revenue, profit dan pangsa pasar dari produk yang mereka lisensi atau lisensikan. Keuntungan terbesar yang mereka dapat justru yang intangible, kita sebut saja corporate recognition. Selain itu, masuknya produk semacam Tensivask ke portofolio produk Dexa juga mendorong mereka meningkatkan kemampuan teknis produksi sehingga sesuai dengan standar internasional.
Kemampuan teknis produksi tinggi yang telah teruji ini – dan, karenanya, telah diakui – pada gilirannya dapat “dijual.” Dan memang itulah yang kemudian dilakukan Dexa. Mereka menarik masuk produk-produk farmasi bernilai tinggi, banyak di antaranya dari kalangan multinasional, untuk toll-in manufacturing. Sebaliknya, jika kapasitas produksi optimal telah tercapai, mereka melakukan toll-out manufacturing, terutamauntuk produk bernilai tambah (lebih) rendah (OGB, misalnya), ke perusahaan farmasi lain yang umumnya mitra bisnis lokal.
Hasilnya? Kegiatan produksi pun dapat disulap menjadi profit center!
“Pak Ferry itu orang pertama yang bilang bahwa produksi adalah ajang persaingan masa depan,” ujar seorang Direktur Produksi perusahaan pesaing.
Tentu saja, pemasaran dan distribusi masih sangat penting. Di era AFTA nanti, pemain asing pasti membutuhkan mitra distribusi lokal untuk menjangkau pasar Indonesia yang luas. Buat Ferry, persiapan di bidang ini boleh dibilang telah tuntas. Tak ada perusahaan distribusi farmasi lain yang lebih well-positioned menghadapi era perdagangan bebas regional (maupun global) ketimbang AAM.
Sisi produksi menjadi fokus Ferry karena dia agaknya menganggap persiapan Dexa dalam bidang ini belum tuntas benar. Proses pengembangan PT Ferron Par Pharmaceutical yang dimulai pada 2001 tampaknya dia nilai belum rampung 100%. Jika anak perusahaan manufakturing produk farmasi di Cikarang yang dilengkapi good manufacturing practices terkini ini telah beroperasi penuh, Dexa akan dapat meningkatkan produksi setidaknya 20%.
Selain itu, karena dilengkapi tim pemasaran sendiri, Ferron juga dapat diharapkan meningkatkan coverage pemasaran. Apalagi, anak perusahaan yang dikomandani Joko Sujono ini diarahkan untuk masuk ke kategori pasar yang berbeda dari Dexa. Kalau produk Dexa ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dokter bedah, THT, kebidanan, dan semacamnya yang pasarnya lebih luas, produk Ferron ditujukan untuk dokter mata, kulit, neuro, psikiatri, onkologi, dan niche market lainnya.
Sistem “dua kapal” yang diluncurkan Ferry ini merupakan strategi yang cerdik. Alih-alih berebut pasar, keduanya justru saling melengkapi. Bahkan di pasar untuk toll-manufacturing pun keduanya, yang sama-sama mumpuni, tak perlu bersaing head-to-head. Dengan demikian, kalau tandem ini telah siap, Grup Dexa juga akan menjadi satu di antara sedikit perusahaan farmasi nasional yang paling well-positioned ketika perdagangan bebas mengundang masuk lebih banyak multinasional yang lebih suka mendirikan perwakilan pemasaran ketimbang fasilitas produksi untuk masuk ke pasar Nusantara yang menjanjikan.
Strategi besar Ferry yang memberdayakan seluruh bagian yang terlibat proses bisnis – tak hanya pemasaran, tetapi juga produksi dan R&D – jelas membuat jajaran Dexa di seluruh bidang bangga karena semua dapat menyumbang pendapatan. Namun, ini belum menggambarkan seluruh visi Ferry sebagai nakhoda perusahaan.
Laiknya seorang pemimpin perusahaan yang hebat, Ferry tak melepaskan satu pun peluang untuk satu-dua langkah lebih maju ketimbang pesaing. Dalam menghadapi harmonisasi pasar ASEAN, misalnya, persiapan Dexa paling lengkap. Mereka telah menyiapkan semua perangkat yang diperlukan untuk registrasi produk yang diterima di seluruh negara di kawasan. “Kecepatan adalah segalanya,” ujar Ferry. Dia lalu mengulang prinsip bisnisnya, “Menjadi yang nomor satu masuk pasar itu penting.”
Agar dapat diterima di seluruh negara ASEAN, misalnya, obat yang diregistrasi harus telah diteliti bioavailability atau bioekuivalensi (BA/BE)-nya. Mengantisipasi hal ini, seperti biasa, Dexa melakukan langkah besar: mendirikan laboratorium uji BA/BE, alias untuk membuktikan apakah zat aktif suatu formula atau produk farmasi dapat terserap ke dalam sistem peredaran darah dengan ketersediaan yang memenuhi syarat. Dan, seperti AAM dan Ferron, laboratorium tersebut – Equilab – dipersiapkan untuk jadi profit center, bukan sekadar melayani kebutuhan internal. Asal tahu saja, tarif uji BA/BE untuk satu produk mencapai ratusan juta rupiah.
Bukan itu saja, sistem TI yang dibangun pun dipersiapkan jadi profit center. Saat ini, menurut Ferry, Dexa telah memiliki database apotek, rumah sakit, toko obat, dan kanal distribusi lain, sehingga prinsipal bisa mengetahui secara persis seberapa banyak dan luas obat mereka terdistribusi. Database tersebut juga memungkinkan prinsipal mengetahui produk mereka laku di area mana saja, sampai ke tingkat kecamatan.
Saat ini, semua itu baru digunakan untuk mendukuing order filling rate. Namun, Dexa sudah siap dengan level selanjutnya: layanan business intelligent. Kalau hal ini belum direalisasi, itu karena banyak mitra Dexa, dalam hal ini rumah sakit dan apotek, belum siap.
Buat memperoleh talenta hebat untuk manajemen kunci yang melayani pertumbuhan yang sepesat itu, bisa diduga, tentu sulit kalau hanya menambil dari dalam. Yang lalu menjadi pertanyaan, bagaimana Ferry menarik para eksekutif kaliber tinggi, sebut saja Indri K. Hidayat dan Wimala Atmadja, yang telah malang-melintang di perusahaan multinasional ke Dexa?
Kiatnya, menurut Ferry, sederhana saja. Pertama, tentunya, ada visi yang jelas. Kedua, yang mungkin sering dilupakan orang, menurut istilah Ferry, you walk the talk. “Setelah menjelaskan visi, kita jangan cuma he-he he-he di belakang meja,” dia meyakinkan, “Bukan seperti itu, kita harus menjalankan apa yang kita omongkan.”
Dalam proses awal menarik Indri, misalnya, menurut pengakuan Direktur SDM Korporat Dexa yang waktu itu masih terikat dengan Citibank ini, Ferry lebih banyak presentasi perusahaannya. “Saya (diperlakukan) seperti calon investor,” ujarnya. “Beliau juga secara gamblang, rinci dan lugas memaparkan apa-apa yang ingin dicapainya.”
Baru, pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Ferry yang banyak bertanya tentang pengalaman dan aspirasi Indri. Setelah itu? “Saya butuh waktu 6 bulan sebelum memutuskan bergabung dengan Dexa,” ujarnya.
Indri tak cerita rinci apa saja yang dilakukan selama 6 bulan proses pengambilan keputusan tersebut. Wimala yang telah 26 tahun di IBM, 6 tahun terakhir membawahkan operasional IBM untuk Asia Pasifik di kantor regional Singapura, lebih terus terang. “Setidaknya saya menyisihkan waktu hampir 6 bulan untuk mempelajari dan mengetahui secara lebih detail tentang Dexa secara menyeluruh,” tuturnya. “Bagaimanapun saya ini bukan tipe kutu loncat. Jadi, saya harus benar-benar yakin sebelum ambil keputusan pindah.”
Dari penelitian detail, Wimala agaknya yakin, Ferry betul-betul melakukan apa yang dia katakan (dalam presentasinya) – walk the talk itu tadi. Pendelegasian wewenang, misalnya, dilakukan dengan baik dan sangat profesional.
Selain itu, suasana kekeluargaan juga terasa. Sebagai bos, Ferry adalah sosok yang berkarakter spontan. Dia sangat terbuka dan mampu menempatkan dirinya. “Beliau punya empati yang tinggi pada anak buah yang menghadapi kesulitan, bahkan cenderung asertif untuk memberi bantuan,” ujar Indri. Ketika masih di pemasaran, dia tahu nama anak buahnya satu per satu. Padahal, jumlah medrep Dexa saja waktu itu sudah ratusan.
Mereka yang tidak lagi bergabung dengan Dexa juga memberikan penilaian positif. “Tipikal Pak Ferry itu role model,” ujar Joko Triyono, Direktur Pemasaran Phapros, seraya menceritakan bagaimana sebagai bos Ferry ikut jalan ke daerah, naik mobil dan turun langsung ke lapangan.
Di lingkungan yang lebih luas, nama Ferry tak kalah harum. Sampurno mengaku sering berdiskusi dengannya dan menilai dia sebagai sosok pemimpin, bukan sekadar manajer, yang berwawasan luas dan dinamis. “Saya sering bertukar buku dengan Ferry,” tutur Kepala Badan POM ini. “Dia memberikan beberapa buku manajemen mutakhir, begitu juga saya. Yang terbaru tentang valuing intangible asset.”
Nilai intangible Ferry sebagai aset perusahaan, tak diragukan lagi, memang luar biasa. Selain visioner, sebagai pemimpin dia mampu jadi simpul ikatan bagi seluruh jajaran manajemen Dexa untuk bekerja secara sinergis mencapai tujuan yang sama. Selain itu, dia juga punya kualitas yang jarang dimiliki seorang pemimpin visioner. Ya, tak seperti umumnya seorang pemimpin visioner yang mengawang-awang, Ferry telaten memperhatikan hal-hal detail, sehingga dia sekaligus merupakan hands-on leader yang mau memastikan bahwa strategi yang dia gariskan membuahkan hasil. Dan, hebatnya lagi, dengan caranya yang luwes, dia bisa melakukan “pengecekan” tanpa menimbulkan (persepsi) mengurangi pemberdayaan yang telah dia berikan kepada para panglimanya.
Jika Ferry tak terserang penyakit complacency – rasa puas diri – bisa diharapkan dia bakal membawa Dexa dari sebuah good company menjadi great company. Saat ini, Dexa memang masih di peringkat ke-3. Akan tetapi, jika pertumbuhan penjualan mereka yang hampir selalu tertinggi dalam 5 tahun terakhir ini dapat terus dipertahankan, menjadi The Biggest One hanyalah soal waktu.
Pertumbuhan penjualan yang tinggi itu sangat mungkin. Dari segi apa pun – pemasaran dan distribusi, produksi, R&D, aliansi strategis – Dexa menjadi yang terdepan. Apalagi, portofolio produk mereka yang sekitar 80% obat ethical menjamin margin laba tinggi yang diperlukan buat membiayai bisnis yang bongsor. Sekali lagi, mereka paling well-positioned menghadapi perubahan yang mungkin terjadi.
Perdagangan bebas dilakukan hari ini juga? Seluruh proses bisnis Dexa yang telah dirancang profit oriented itu paling siap menangkap peluang hadirnya aliansi strategis. Klaim Ferry sebagai partner of choice, harus kita akui, bukan sekadar omong besar.
Bagaimana jika, misalnya, pemerintah punya kekuasaan memangkas harga obat sampai 20% dan menggunakannya? Ketika pertanyaan ini diajukan Anthony C. Soenarjo dalam perhelatan GP Farmasi yang diceritakan di awal tulisan ini, Dr. Boenjamin meyakinkan bahwa industri farmasi Indonesia akan kolaps. “Margin keuntungan industri farmasi nasional cuma 20%,” pendiri Grup Kalbe itu memberi alasan.
Kalau jawaban ini jujur, alangkah tidak efisiennya raksasa industri farmasi yang satu ini. Andalan Kalbe adalah, sama seperti Dexa, OND kategori obat ethical yang harganya bisa sampai 10 kali lipat OGB. Selain itu, Kalbe merajai kategori obat OTC yang harganya diatur pasar dan (hampir) tak punya produk OGB yang rawan penurunan harga oleh pemerintah itu.
Ketika pertanyaan yang waktu itu diajukan Anthony dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, bukan Ketua GP Farmasi, diarahkan SWA ke Ferry, bos Dexa itu tercenung sejenak. Kemudian, dengan hati-hati dia menjawab, “Saya nggak tahu apa yang dilakukan Kuningan (Kantor Menteri Kesehatan). Tetapi, kalau penurunan harga itu gradual dan terkait dengan kerangka besar sistem asuransi, Dexa akan baik-baik saja.”
Sebuah jawaban yang jujur dan bijak dari seorang bos perusahaan yang 20% portofolio produknya adalah OGB. Yang belum kita ketahui adalah sikap Sanbe terhadap kemungkinan yang secara teoretis cukup besar itu. Namun, apa pun jawab mereka, posisi kampiun farmasi dari Bandung yang lebih mengandalkan hubungan mesra dengan kalangan dokter ketimbang pendekatan rasional-ilmiah yang terpadu ini tampaknya lebih rentan ketimbang Dexa.
Jika analisis ini benar, perjalanan Dexa dari good menjadi great company lebih tergantung pada faktor internal. Gamblangnya, bahkan, lebih tergantung pada faktor seberapa telaten Ferry memperkencang sedikit demi sedikit perputaran roda bisnis Dexa hingga mengatasi inertia yang masih membelenggu semua pesaingnya.
Jajaran 10 Besar Industri Farmasi Indonesia
peringkat-industri-farmasi
Dari berbagai sumber, diolah kembali.
Posisi Strategis Dexa di Tengah Sanbe dan Kalbe Manajemen:
(+) Dexa memiliki Ferry A. Soetikno yang dikenal sebagai pemimpin visioner. Di bawah Ferry yang menjadi simpul ikatan bagi seluruh jajaran manajemen untuk bekerja secara sinergis mencapai tujuan yang sama, Dexa mampu melakukan pengembangan bisnis yang terintegrasi dengan pendekatan yang rasional-ilmiah.
(+) Untuk sebuah keluarga, faktor positif Ferry secara teoretis akan bertahan lama. Namun bagaimanapun, ketergantungan yang kelewat tinggi terhadap figur seorang pemimpin menimbulkan risiko tersendiri, terutama dalam jangka panjang.
Pemasaran dan distribusi:
(+) Dexa memiliki AAM yang telah berkibar menjadi profit center dengan 60% revenue berasal dari prinsipal eksternal. Enseval (Kalbe) dan, terutama, Bina San Prima (Sanbe), masih lebih mengandalkan captive market.
(+) Barisan medrep Dexa telah relatif mampu melepaskan diri dari “strategi kalkulator” yang masih menjerat Sanbe.
Produksi:
(+) Keberhasilan Dexa menjalin aliansi strategis dengan Pfizer memberi peluang pertumbuhan tersendiri melalui aliansi dengan kampiun industri farmasi lainnya.
(+) Strategi menarik toll-in manufacturing untuk produk bernilai tambah tinggi dan memanfaatkan kapasitas idle industri farmasi nasional untuk toll-out manufacturing produk bernilai tambah lebih rendah tidak hanya membuat kegiatan produksi Dexa lebih efisien, tetapi juga mampu menyumbang profit. Pengembangan Ferron akan memberikan ruang tumbuh yang cukup luas melalui strategi ini.
R&D:
(+) Keberhasilan Dexa menjalin aliansi strategis dengan GSK Indonesia (dalam pemberian lisensi) memberi peluang pertumbuhan tersendiri melalui pemberian lisensi lain serupa dengan kampiun industri farmasi lainnya.
(+) Dexa juga berhasil meluncurkan satu dari hanya lima produk fitofarmaka asli Indonesia.
Portofolio bisnis:
(+) Dari sisi produk, fokus pada produk obat ethical memberikan keuntungan tersendiri karena penjualan produk ini cenderung stabil dan memberikan margin laba tinggi. Strategi menjadi yang pertama di pasar dan upaya memperoleh produk orisinal meningkatkan margin laba dan memberikan pertumbuhan penjualan yang tinggi bagi Dexa.
(+) Dari sisi pasar, porsi ekspor Dexa yang mencapai 12% memberikan diversifikasi yang mengurangi risiko di pasar domestik.
(+) Dari sisi bisnis, keteguhan Dexa melakukan ekspansi vertikal di bisnis farmasi yang merupakan core business (tidak seperti, katakanlah, Kalbe yang sampai masuk ke properti dan pendidikan) membuat upaya bisnis Dexa lebih terfokus.
(-) Kelemahan Dexa di OTC dan cukup tingginya porsi penjualan OGB (20%) merupakan risiko tersendiri.
1 komentar:
mantab bro! kini saya telah merampungkan penulisan ebook mengenai Medical Representative, silakan kunjungi blognya untuk mendapatkannya. Semoga bermanfaat...
Posting Komentar