Kali ini saya akan emmbahas tentang Medical Representative, Anda tentunya udah gak asing lagi dengan profesi yang satu ini. Tapi gak tau juga, tepat gak sih kalo disebut sebagai profesi. Cos kata dosenku, bisa dikatakan sebagai profesi kalo dalam menjalankan tugas diperlukan pendidikan terlebih dahulu, perlu kuliah dulu, dan tentunya ikut program profesi dulu. Ya kayak dokter, apoteker, dokter gigi, drh, akuntan, dsb.
Oya, balik lagi ke medrep. Medrep merupakan barisan dalam marketing dari perusahaan terutama untuk memasarkan produk ethical. Kan tau sendiri kalo obat ethical kan gak boleh promosi di TV atau koran-koran layaknya produk OTC. Jadi, fungsi medrep sesungguhnya sebagai agen penjualan obat ethical kepada target pasar, yakni apotek dan rumah sakit. Tugas mereka jelas, memperkenalkan produk, baik dari sisi fungsi, manfaat, maupun efek samping.
Namun, peran mereka rupanya dari waktu ke waktu makin bergeser. Tidak lagi sekadar agen obat, melainkan juga fasilitator untuk banyak kepentingan, baik dari sisi dokter/rumah sakit maupun dari sisi produsen. Mereka bekerja untuk mempertemukan dua kepentingan yang sama: kata majalah SWA, apakah itu? FULUS.
Gosip yang berkembang, telah terjadi kongkalikong antara perusahaan obat dengan oknum dokter. Iming-iming bisa mulai dari uang tunai, rumah, mobil, laptop, keliling dunia, hingga nafsu…….. Katanya sih gitu. Terus, bentuk promosi dan strategi pemasaran obat ethical bisa dimulai dari yang halus/sopan hingga yang vulgar.
Biasanya, cara yang dilakukan untuk rumah sakit cukup halus, yakni berupa keterlibatan pensponsoran seminar, ulang tahun rumah sakit, dan sebagainya. Perusahaan farmasi bersedia memberikan sejumlah dana, tapi rumah sakit diminta memakai produk dari perusahaan yang menyumbang.
Praktik yang dijalankan medrep seolah-olah sangat wajar. Misalnya, memperkenalkan produk dengan membawa makanan kecil, map-map, bupen-bulpen dsb ke apotek atau rumah sakit. Perkenalan diteruskan dengan bincang-bincang intens menyangkut hobi dan kesukaan. Tidak ketinggalan, meminta apotek membeli obat yang direkomendasikan dengan iming-iming diskon, atau bahkan menjanjikan setengah penjualan obat itu untuk apotek.
Ini ada potongan artikel menarik yang saya cuplik dari SWA.
Ini ada potongan artikel menarik yang saya cuplik dari SWA.
Setiap langkah medrep pasti berbau fulus. Seorang dokter spesialis dari Tangerang, mengatakan, medrep sekarang makin terus terang, bergerak cepat dan langsung to the point. “Mereka tanpa ragu-ragu minta ‘bantuan’ kami,” cerita sang dokter. Namun hebatnya, bukan berarti mereka datang tanpa data. Biasanya medrep sudah mengantongi data lengkap pasien yang berkunjung ke dokter, tempat praktik, dan informasi tentang keluarga. “Diam-diam mereka mengamati saya,” imbuh sang dokter.Bagi dokter yang dianggap unggulan (level satu) karena memiliki potensi pasien besar (sekitar 200 pasien setiap hari), digunakan pendekatan yang lebih seru, yakni mengundang jamuan makan malam. Pada pertemuan informal itu, bukan medrep lagi yang menemui, melainkan seorang manajer atau bahkan manajer senior. Pertemuan itu dimaksudkan untuk langsung mempromosikan keunggulan obat dan hitung-hitungan reward yang bakal diberikan. “Mereka bicara blak-blakan, tanpa malu-malu. Seperti bernegosiasi,” ungkapnya. “Bisa jadi negosiasinya berupa terima gaji bulanan dari pabrik obat yang bersangkutan,” sumber SWA yang mengelak disebutkan namanya itu menambahkan.Dari pengalaman selama didekati perusahaan farmasi, seorang dokter pria “memuji”, perusahaan farmasi kini makin “pintar” memilih iming-iming hadiah. Seperti yang baru saja dialaminya, tiba-tiba ia mendapat bonus notebook Apple Mac dengan ucapan selamat hari Natal dan terima kasih telah membantu mereka. “Bagaimana mereka bisa tahu kalau anak saya membutuhkan notebook seri terbaru itu tahun lalu, padahal saya tidak pernah menceritakan kalau saya berencana akan membelinya buat anak saya,” paparnya keheranan.Ada lagi seorang dokter muda flamboyan yang memperoleh hadiah Jaguar. Dari mana bisa? “Dokter itu memang gaya dan sangat terkenal di kotanya. Nggak tahulah, setiap tahun dia juga bisa liburan ke luar negeri dari perusahaan farmasi yang sama,” ungkap seorang pemilik apotek terheran-heran dengan hadiah yang menggiurkan itu.Seorang mantan direktur keuangan sebuah rumah sakit swasta juga tidak heran dengan taktik medrep tersebut. Menurutnya, amat mudah melacak kebutuhan keluarga dokter. Dalam hal ini, lanjutnya, yang penting adalah hitung-hitungan bisnis. “Selama permintaan atau kebutuhan itu sesuai dengan bujet, hadiah dalam bentuk apa pun tidak masalah,” katanya. Dia mengamati, bonus bukan hanya berupa mobil mewah, tapi bisa jadi rumah mewah, dibangunkan klinik, atau malah uang tunai sehingga bisa memilih barang sendiri. “Ujung-ujungnya no limit,” ia menandaskan.
Terus, ada lagi, masih dari Majalah SWA.
Perusahaan farmasi, semakin agresif saja “menggarap” dokter, cara bermain mereka juga makin kasar. Misalnya, meminta dan mengumpulkan salinan resep dokter dari kertas karbon. Lalu, mengecek ke apotek untuk mendeteksi siapa menjual berapa, dan sebagainya.
Wooooooooooooo…….. keren bgt. Ada juga dari pabrik farmasi yang ngasih kertas buat nulis resep, terus di bagian bawahnya sudah tercetak tulisan “Obat yang tertulis di resep tidak boleh diganti”. Lho, padahal kan ada hak pasien untuk mendapat obat yang rasional, yaitu harga yang pas untuk produk yang pas juga. Kasian donk konsumennya. Mana apoteker kan gak bisa seenaknya gonta-ganti obat, perlu nanya ke dokter dan persetujuan pasien juga. Nah kalo di resepnya udah ada tulisan kayak gitu, semakin dibatasi donk peran apoteker dan hak pasien….
Ketika mengetik artikel ini, aku berfikir? Ya gak etis lah sistem pemasaran kayak gini. Kan kasian pasien juga, mau gak mau kan kena imbasnya di harga obat. Biaya promosi akan masuk ke harga obat juga. Terus, pasien dapet obat yang mahal-mahal juga, padahal dia gak butuh obat itu. Atau betapa sakitnya perasaan sang dokter yang harus menuliskan obat X di setiap resep yang ia tulis, yang pasti ada penolakan dari hati nuraninya, tapi gimana lagi udah terlanjur dapet bonus sich. Tapi tentu gak semua Medrep dan dokter kayak gitu.
Kata SWA, masalah pemasaran obat ethical: yang dibutuhkan di sini adalah keterbukaan industri obat menyangkut mekanisme dan aktivitas usahanya. Bagaimanapun, konsumen yang merasakan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya persaingan bisnis. Dan, cara pemasaran yang elegan jauh lebih bermanfaat jangka panjang ketimbang kepentingan sesaat.
0 komentar:
Posting Komentar